APAKAH BALGHAITS ITU HABAIB?
(Dirangkum
dari tulisan Sayyid Idrus Alwi al Masyhur & Ir. Sayyid Abd. Salam al
Hinduan, MBA)
Jika
pertanyaan yang diajukan seperti judul di atas, maka dengan tegas kita katakan
bahwa Balghaits itu termasuk Habaib, karena nama marga ini diakui keberadaannya
di dalam kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan keluarga Alawiyyin. Namun jika
pertanyaan-nya seperti ini:
Apakah
“Balghaits” yang ada di Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib?
Maka jawabannya bisa menjadi panjang.
Keluarga
Balghaits berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad asy Syahid bin al Imam Muhammad al
Faqih al Muqaddam. Sayyid Umar Shahib al Hamra ini lahir di Tarim pada tahun
822 H. dan wafat di Taiz pada tahun 889 H. (Syamsu azh Zhohirah ta’liq as
Sayyid Muhammad Dhiya’ Shahab: 405).
Di dalam
kitab Syajarah Ansab al Alawiyin yang ditulis mufti Hadhramaut Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad al Masyhur, maupun yang ditulis oleh Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf,
dalam rangka sensus nasab Alawiyyin Indonesia dari tahun 1932-1940, yang
selesai ditulis tahun 1957, keturunan Balghaits hanya tercantum sampai nama
Husin. Jadi data di Hadhramaut dan di Indonesia sama. Yaitu:
Husin
bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Umar
Shahib al Hamra.
Untuk
lebih mudahnya bisa disusun sebagai berikut:
Habib
Umar Shahib al Hamra mempunyai
keturunan
- Muhammad
- Umar
- Ahmad
- Al Ghaits
- Ahmad
- Alwi
- Husin (Hingga sampai nama ini data yang tercantum di dalam kitab nasab)
Sedangkan
buku nasab Khidmat al Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsu al
Zhohirah karangan Sayyid Ahmad bin Abdullah as Saqqaf yang ditulis pada tahun 1946,
menyebutkan bahwa keturunan Sayyid Umar Shahib al Hamra memiliki keturunan
yaitu keluarga Balghaits di Lahaj. Pada hal 72 dari kitab yang sama, Sayyid Ahmad
bin Abdullah as Seqqaf menyatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya keluarga
Balghaits tidak memiliki keturunan lagi atau terputus (munqaridh).
Bila
kita melihat buku nasab di atas, munculnya nama-nama tambahan yang menyambung
kepada Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, telah menjadi masalah bagi para
Habaib di Kalimantan, sehingga mereka menolaknya.
Pro-kontra
masalah nasab Balghaits ini bukanlah hal baru bagi Habaib di Kalimantan, namun
sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu sebelum tahun 1960-an. Khususnya
para Habaib yang tua, yang asli dari Hadhramaut (wulaity), banyak yang menolak
nasab Balghaits yang ada di Kalimantan ini. Tentu mereka punya alasan kuat, dan
jangan sekali-kali menganggap bahwa mereka buta dari ilmu nasab, atau tidak ada
komunikasi dengan para ahli nasab.
Pro-kontra
menjadi semakin menghangat ketika buku nasab Balghaits yang dikeluarkan oleh
ketua-ketua Maktab Daimi terdahulu, tetapi saat ini dipending sambil menunggu
keputusan yang jelas. Kebijakan menunda pengeluaran buku nasab ini membuat
pihak keluarga Balghaits semakin ingin membuktikan bahwa keluarga mereka adalah
keturunan Balghaits yang sebenarnya. Dan pendukung yang diberikan kepada Maktab
Daimi menuliskan kakek-kakek mereka adalah Aboelgais bukan Balghaits.
Banyak
nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili bangsa Arab, baik dari kalangan
Ahlu bait atau non-Ahlu Bait. Seperti contoh: nama Abulghaits di yaman
diintisabkan kepada keturunan dari famili al Qudaim atau al Ahadilah. Di
samping itu dalam kitab al Qaul al Munir, nama Abulghaits, khususnya
yang berada di negeri Yaman diintisabkan kepada keluarga Bafadhal, bahkan
terdapat pula nama tempat dan keluarga non-Alawiyin bernama Alalak bin al
Ghaits sebagaimana nama daerah di Banjarmasin- Kalimantan Selatan. Sebaliknya,
famili Alawiyyin yang berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra yang tinggal di
Lahij menggunakan nama ‘Balghaits’ bukan Abulghaits. Lalu termasuk kelompok
yang manakah keluarga yang terdapat di Kalimantan tersebut?
Dalam
menentukan keshahihan nasab seorang Sayyid tidaklah mudah. Keputusan shahih
atau tidaknya didasarkan minimal dua faktor, yaitu data dan kesaksian.
Kedua faktor itu harus saling mendukung. Bila seseorang memiliki data tetapi
kesaksian menolak, maka status seseorang belum dikatakan shahih, begitu pula
jika seseorang disaksikan bahwa ia adalah seorang sayyid, tetapi data tidak
mendukung (hanya tahu tiga urutan ke atas), atau ada tetapi tidak benar
urutannya dan salah dalam menentukan data lainnya, seperti saudara ayah,
saudara kakek, dan sebagainya. Begitu pula dengan persyaratan pengajuan
permohonan nasab yang tidak dipenuhi, di antaranya adalah dua orang saksi yang
memang benar-benar mengetahui orang yang disaksikannya.
Data
yang telah diterima oleh Maktab Daimi biasanya akan diverifikasi untuk
mendapatkan kebenaran urutan nasab seseorang, di antaranya dengan melampirkan
surat-surat yang diperlukan seperti kartu keluarga atau identitas lainnya.
Sebagai contoh kasus nasab keluarga Balghaits Kalimantan Selatan, karena jarak
dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits hingga Q (Qadri bin Ahmad Nur) yang
dikenal dengan HO (H. Ondel) terlalu jauh (lebih dari lima generasi), maka
perlu adanya pembuktian apakah nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits itu
memiliki anak bernama Muhammad, apakah Muhammad mempunyai anak bernama Husin,
apakah Husin mempunyai anak bernama Umar, apakah Umar mempunyai anak bernama
Abdullah, dan seterusnya.
Setelah
dilakukan penelitian ternyata proses pengajuan permohonan tidak memenuhi apa
yang dipersyaratkan. Kesaksian yang diharuskan dalam permohonan, diberikan oleh
satu orang dari famili al Habsyi dan satu orang dari famili Balghaits sendiri,
yaitu Sayyid Abu Bakar bin Salim al Habsyi dan Qadri bin Ahmad Nur. Menjadi
tidak masuk akal ketika ada orang yang akan disaksikan sebagai sayyid, tetapi
yang bertindak menyaksikan keluarganya adalah dirinya sendiri. Apalagi
kesaksian lingkungan Habaib menolak kesahihan nasabnya. Hal ini terjadi pada
tahun 1990, sedangkan kesaksian penolakan akan keshahihan nasabnya dari
masyarakat terjadi jauh sebelum tahun tersebut.
Ketika
ada protes yang mengatakan bahwa famili Balghaits telah diterbitkan bukunya
pada tahun 1972 oleh Maktab ad Daimi, hal ini menjadi pertanyaan: mengapa
pengurus Maktab ad Daimi selanjutnya (berinisial MAA) membuat surat kepada Sdr.
Ahmad al Aydrus (tanggal 28 Juni 1989) untuk mencari tahu tentang penolakan
keluarga Balghaits dari lingkungan?
Beliau
juga bertanya ke sana-kemari tentang keluarga Balghaits ini kepada orang-orang
Kalimantan Selatan. Kalau memang buku nasab Balghaits yang pernah dikeluarkan
Maktab Daimi pada tahun 1972 dengan proses yang benar (terpenuhi dua syarat,
yaitu urutan data yang shahih dan tidak ada penolakan lingkungan), seharusnya
tidak perlu bersusah payah bertanya-tanya untuk mencari tahu, tetapi
melanjutkan saja untuk mengeluarkan buku nasabnya! Dalam hal ini, apakah MAA
sebagai ketua Maktab Daimi saat itu turun langsung untuk mencari tahu ke
Banjarmasin???
Ternyata
pada tahun 1986, terdapat pengakuan secara lisan akan ketidaktelitian pengurus
Maktab Daimi dalam menetapkan dan menerbitkan nasab Balghaits. Hal itu
tercermin ketika seorang Sayyid dari Banjarmasin (saat ini beliau masih hidup)
mengatakan kepada pengurus Maktab Daimi bahwa keshahihan nasab Balghaits
ditolak oleh para orang tua di Banjarmasin. Dengan rasa menyesal ketua Maktab
Daimi (inisial MAA) tersebut berkata: “Ya Habib, nasab Balghaits sudah ditulis
di buku nasab, lalu bagaimana cara mengeluarkannya?”. Ternyata penyesalan tidak
diikuti dengan penghapusan nama keluarga Balghaits. Pada tahun 2006, atas
dasar prinsip kehati-hatian, penerbitan buku nasab Balghaits (oleh Maktab
Daimi, Rabithah Alawiyah) selanjutnya diberhentikan sementara.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah ketua Maktab daimi (seperti MHH, MAA, ZAA) tidak berpegang
dan mengadakan penelitian kepada kitab-kitab nasab yang terdahulu, seperti
kitab nasab Khidmah al Asyirah (ditulis tahun 1946) yang dengan jelas
menyatakan keluarga Balghaits telah terputus keturunannya?
Berbeda
dengan Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, dengan prinsip kehati-hatian beliau
tidak menuliskan nama-nama keturunan Balghaits seperti ‘HT’ yang lahir tahun
1922 (perbedaan generasi lebih dari 5 kakek), bahkan sebaliknya beliau hanya
menuliskan nasab Balghaits hanya sampai Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits
saja, padahal beliau melakukan sensus Alawiyin dari tahun 1932 sampai 1940, dan
meninggal tahun 1964. Ketika Habib Ali bin Jakfar wafat, umur ‘HT’ adalah 42
tahun. Lalu kenapa keluarga Balghaits Kalimantan ini tidak terdata dalam buku
sensus (ihsa) dan tidak tercatat dalam buku nasab induk Maktab Daimi? (Padahal
sudah lebih dari lima generasi???).
Hal
ini karena Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf berpegang kepada kitab-kitab nasab
Alawiyyin sebelumnya, seperti kitab Syajarah Ansab al Alawiyyin karangan Sayyid
Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang menuliskan hanya sampai nama Husin bin
Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, dan kitab Khidmah al asyirah, karangan Habib Ahmad
bin Abdullah as Saqqaf, yang menyatakan bahwa keluarga Balghaits telah terputus
keturunannya!
Selanjutnya
mana yang harus kita pedomani, Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, yang dengan
prinsip kehati-hatiannya hanya menuliskan keturunan Balghaits sampai Husin bin
Ali bin aAhmad bin al Ghaits saja, tanpa menambah nama keturunan lainnya dan
Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf (seorang ahli nasab yang menyatakan dengan
jelas bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya dalam kitabnya
Khidmatu al Asyirah) atau MHH, MAA, ZAA yang telah menerbitkan buku nasab
Balghaits? Silahkan anda putuskan!
Kemudian
dalam hal ini, Ir. Sayyid Abdussalam Alwi al Hinduan, MBA juga merincikan
beberapa analisis masalah kontroversi nasab keluarga Balghaits dan solusinya:
1) Bahwa
para Sayyid, Syarif, dan Habaib di Indonesia umumnya merupakan anak keturunan
yang leluhurnya berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan. Untuk menjaga
kelangsungan keturunan tersebut, maka dicatatlah asal-muasal keturunan dari
Hadhramaut yang masuk ke Indonesia guna diteruskan silsilah mereka. Atas dasar
itu, maka Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur mencatat marga, nasab dan
silsilah tersebut sebanyak 7 (tujuh) jilid, yang dikenal nama bukunya yaitu Syajaratul
Ansab al Alawiyin (disebut Kitab Hadhramaut). Beliau ini dilahirkan
di kota Tarim tanggal 29 Sya’ban 1250 H/ 1829 M. Pada zamannya beliau dikenal
sebagai tokoh ulama Alawiyin sehingga dijuluki Mufti Hadhramaut. Kitab beliau
selain di atas adalah Bughyatu al Mustarsyidin dan Syamsu azh Zhohirah. Beliau
wafat 16 shafar tahun 1320 H atau 1899 M, dimakamkan di Zanbal, Tarim.
2) Pada
tahun 1340 – 1341 buku tersebut ditashhih oleh anak beliau yang bernama Habib
Ali bin Abdurrahman al Masyhur atas tulisan tangan Salman bin Said bin Awadh
Baghauts.
3) Sekitar tahun 1346 H ketujuh kitab tersebut dibawa ke Indonesia oleh Habib Alwi bin Thohir al Haddad. Dan bersamaan dengan itu pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H) dibentuk atau didirikan Rabithah Alawiyah di Jakarta, yang mana ketuanya adalah Habib Alwi bin Thohir al Haddad.
4) Untuk kepentingan kelangsungan nasab dan pencatatan keluarga Alawiyin maka dibentuk Maktab Daimi sebagai lembaga otonom di bawah Rabithah Alawiyah pada tanggal 10 maret 1932 (1350 H). Tujuan pendirian Maktab Daimi adalah untuk mencatat sejarah da silsilah Alawiyin yang tersebar di berbagai penjuru di Indonesia, sehingga sejarah dan silsilah Alawiyin tetap lestari dan terjaga.
5) Sebagai tindak lanjut atas poin 4, maka ditunjuk Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf guna mendata ulang para Habaib di Indonesia dengan melanjutkan catatan nasab dari kitab Habib Abdurahman bin Muhammad al Masyhur. Dalam Kitab ini keluarga al Balghaits hanya tercatat yaitu Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Shohib al Hamra bin Abdurahman yang berada di Lahaj, Yaman Utara.
6) Habib
Ali bin Jakfar as Seqqaf melakukan pencacahan dari tahun 1932 – 1940 M. Dari
pencacahan ini diperoleh tambahan 7 kitab oleh Habib Ali bin Jakfar dari
keluarga Alawiyin yang tersebar di Nusantara. Kitab ini disebut oleh Habib Ali
bin Jakfar as Seqqaf dengan judul Syajaratu Ansab al Alawiyin atau lebih
dikenal dengan nama: Syajaratu Nasab Li Sayyid Ali bin Jakfar as Seqqaf. Buku
ini tersimpan pada keluarga beliau. Ia wafat tahun 1962, yang kemudian tahun
1985, buku-buku tersebut diserahkan kepada Maktab Daimi Rabithah Alawiyah di
Jakarta. Dari keterangan buku Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf ini khusus
mengenai keluarga al Balghaits tertulis:
- Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits (dzurriyatihi al Ghaits bi Lahaj/keturunannya al Ghaits di Lahaj) bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Shohib al Hamra bin Abdurahman bi Lahaj.
7) Bahwa sebagian besar keluarga Alawiyin yang berada di Banjarmasin, Alalak dan sekitarnya hingga tahun 60 an sampai sekarang berpandangan sebagai berikut:
- Abul Ghaits atau al Balghaits bukanlah sayyid. Terhadap hal ini ada menyatakan mereka sebagai orang Arab (masyayikh) dan adapula yang menganggapnya keturunan Pakistan. Disamping itu ada yang mengemukakan bahwa keluarga keluarga Al Balghaits ini telah punah alias tidak ada lagi keturunannya.
- Diceritakan oleh Habib Zainal Husin bin Shaleh al Aydrus (asal Banjarmasin yang saat ini berada di Balikpapan)) kepada penulis pada tanggal 2 Oktober 2014 yang diterimanya dari Habib Hasan Bahasyim bahwa disaat Haji Ondel (Qadri bin Ahmad Nur) yang mengaku sayyid bermarga al Balghaits, ingin melamar putrinya Habib Zein al Habsyie Martapura, maka ditolak oleh Habib Zein al Habsyie karena dianggap bukan sayyid.
8) Berdasarkan
buku yang ditulis oleh keluarga al Balghaits tanggal 05 Maret 2013
berjudul: “Meluruskan Tulisan Idrus Mengenai Keluarga Balghaits Yang
Dianggap Terputus” sebagai tanggapan atas buku yang ditulis Idrus bin Alwi
al Masyhur, yaitu: Membongkar Kebohongan Sejarah & Silsilah Keturunan Nabi
SAW di Indonesia, pada halaman 41 menyebutkan adanya silsilah keluarga al
Balghaits di Indonesia berdasarkan naskah yang ditulis oleh Habib
Qasim bin Zubair bin Qasim Baraqbah tahun 1321 H tercantum nasab umar bin
Husin di sampit tersambung kepada keluarga Balghaits, yaitu:
- Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad Balghaits.
- Terhadap hal ini perlu diteliti dan dipertanyakan, mengapa?
a. Sangatlah aneh karena daftar nama keluarga Habaib di Indonesia baru diketahui melalui kitab Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang dibawa oleh Habib Alwi bin Thohir al Haddad tahun 1346 H yang kemudian menjadi bahan rujukan habib Ali bin Jakfar as Seqqaf dalam mencacah keluarga Habaib di indonesia tahun 1932 – 1940 (lebih lanjut teliti keterangan poin 1 – 6 di atas dari tulisan ini).
b. Dari
hasil konfirmasi penulis (Abdussalam Alwi Alhinduan) kepada Habib Ali Ridho
Baraqbah di Surabaya tanggal 23 Oktober 2014 tentang naskah Habib Qasim
bin Zubair bin Qasim Baraqbah yang dimilikinya, ia menyatakan bahwa Habib Qasim
bin Zubair bin Qasim Baraqbah hanya mencatat keluarga Baraqbah saja dan tidak
ditemukan suatu tulisan dari Habib Qasim bin Zubair tersebut tentang keluarga
al Balghaits sebagaimana yang disebutkan naskah di atas. Untuk diketahui
bahwa Habib Ali Ridho Baraqbah adalah salah seorang pencatat nasab keluarga
Baraqbah terutama yang tersebar di Jawa dan sekitarnya. Tulisannya tentang
nasab keluarga Baraqbah adalah al Hasiibah fii Ansab Aal Baraqbah.
9) Permasalahan
menjadi ramai dengan terbitnya buku nasab dari keluarga Albalghaits yang
dikeluarkan oleh Maktab Daimi tahun 1972 dan buku nasab dari Pekalongan tahun
1975. Buku nasab tersebut antara lain yaitu:
a. Diterbitkan
Maktab Daimi tahun 1972 oleh Habib Hasyim bin Muhammad Alhabsyi sebagai
berikut:
- Hasan bin Thoha bin Husin bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
- Ahmad Nur bin Usman bin Abdullah bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
b. Yang dikeluarkan Pekalongan tahun 1975 oleh Habib Ahmad bin Ali bin Syahab yaitu:
- Jafar bin Agil bin Abdullah bin Umar bin husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
- Mahmud bin Jafar bin Abubakar bin Abdullah bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
10) Mengingat terjadinya gonjang ganjing tentang status dan validitas (keabsahan) terhadap keluarga Al Balghaits ini, maka sejak tahun 2000, nasab keluarga ini dipending oleh Maktab daimi disebabkan antara lain:
1) Dalam kitab asli Manuskrip tulisan Habib Abdurahman bin Muhammad Al masyhur yang ada di Maktab Daimi Jakarta (kitab Syajaratul Ansab/ kitab Hadhramaut) terdapat penambahan keturunan dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits sehingga menjadi Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits. Tulisan ini tidak diketahui siapa yang menambahkannya sehingga atas dasar itu muncullah nasab: Hasan bin Thoha bin Umar dan seterusnya, serta Ahmad nur bin Usman bin Abdullah bin Umar dan seterusnya (lihat point 9. a).
2)
Disisi
lain bahwa didalam kitab asli Habib Ali bin Jafar Assegaf (Syajaratu
Ansab Alawiyin) hanya tertulis: Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits
dan tidak ada sambungan bahwa Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits
mempunyai anak yang bernama Muhammad, Muhammad mempunyai anak Husin dan Husin
mempunyai anak Umar, dimana Umar ini dianggap oleh keluarga Al Balghaits
sebagai peletak dasar adanya keturunan Al Balghaits di Indonesia, datang dari
Yaman Utara masuk ke Sampit beranak pinak hingga Umar bin Husin bin Muhammad
ini wafat di Desa Baamang Sampit.
3) Di dalam
kitab Khidmatul Asyirah karangan Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dinyatakan bahwa
keluarga Alghaits di Indonesia telah punah sehingga dari 164 marga Alawiyin di
Indonesia tidak terdaftar keluarga atau fam Al Balghaits ini.
4) Pada
kitab Habib Abdurahman bin Muhammad Al Masyhur di Hadramaut yang asli dimana saat ini kitab tersebut dipegang oleh Habib Ali Masyhur bin
Muhammad bin Hafiz tercatat bahwa keluarga Al Balghaits di Hadramaut hanya
tertulis: Husin bin alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya sehingga tidak
ada penambahan bahwa Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits mempunyai keturunan
bernama Muhammad.
11) Terkait dengan buku nasab yang pernah diterbitkan oleh Maktab
Daimi, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Tidak otomatis orang yang mempunyai buku nasab shahih keberadaannya.
- Mungkin saja terjadi kesalahan disebabkan ketidaktelitian pada saat pembuatan buku tersebut seperti tidak adanya kroscek tentang keabsahannya, kabar mutawatir yang menyertai pemprosesannya, atau mungkin adanya kepentingan lain.
- Bilamana ditemukan adanya keraguan dari sebagian Habaib atau sebagian masyarakat muslim tentang buku nasab seseorang, maka sah-sah saja dilakukan pengkajian ulang atau penelusuran lebih lanjut terhadap buku yang pernah diterbitkan tersebut.
- Sebagai gambaran, Maktab Daimi pernah menerbitkan buku nasab atas nama Muhammad Fuad bin Abdullah Baraqbah (Sekretaris Rabithah Alawiyah Jambi) tahun 2002 dan karena adanya gonjang ganjing atas nama yang bersangkutan, maka dilakukan kaji ulang atau penelusuran secara seksama dan hasilnya : Maktab Daimi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 003/SK/MD – RA/VIII/2009 tentang Penarikan/Pencabutan Buku Nasab Nomor 7636 Atas Nama Muhammad Fuad bin Abdullah, tanggal 15 Agustus 2009 dan dinyatakan tidak berlaku. Dari hal ini jelas bahwa tidak seratus persen buku nasab menjadi dasar keabsahan silsilah seseorang dari keluarga Alawiyin.
12) Untuk menjadi bahan pertimbangan dan kajian lebih lanjut perlu disimak “tulisan : DR. H. A. Madjid Hasan Bahafdullah, MM yang berjudul Dari Nabi Nuh As Sampai Orang Hadhramaut Di Indonesia, Menelusuri Asal Usul Hadharim” dimana pada halamam 257 disebutkan bahwa Keluarga Arab atau masyaikh melalui Bani As – Saibani menurunkan keturunan dari Al Bahsan (Al bahsani) bermukim di Wadi Jirbah dab pegunungan disekitarnya menurunkan nasab sebanyak 19 Suku/Marga, dimana salah satunya adalah “Al Balgheisy”. Disamping itu Idrus Alwi Almasyhur dalam bukunya “Membongkar Kebohongan Sejarah & Silsilah Keturunan Nabi Saw Di Indonesia” , pada halaman 86 menyebutkan: banyak nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili-famili bangsa Arab, baik dari kalangan Ahlu Bait atau non Ahlu Bait. Seperti contoh : nama Abulghaits di yaman diintisabkan kepada keturunan dari famili Al – Qudaim atau Aal Ahadilah atau keluarga Bafadhal yang banyak terdapat di Lahaj.
13) Dari uraian, data analisa di atas terkait dengan permasalahan keluarga Albalghaits ini dengan tidak berlebihan dapat diambil kesimpulan (sementara) antara lain sebagai berikut :
a) Masih
terdapat perbedaan pandangan tentang keabsahan apakah keluarga Albalghaits ini
merupakan sayyid atau bukan alias golongan masyaikh (Arab).
b) Pengambilan
atau pencantelan nama Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits
masih menjadi perdebatan di kalangan keluarga Alawiyin.
c) Perlu
ditelusuri tentang keberadaan : Umar, Husin, Muhammad yang menyambung kepada
Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits, kapan lahirnya, kapan hijrahnya, kapan
wafatnya, dimana dimakamkan, apa tulisan yang tertera di batu nisan yang
bersangkutan baru atau lama, siapa saja saudara – saudara mereka dan dimana
penyebarannya.
d) Agar
tidak menimbulkan fitnah yang berkesinambungan atau konflik baik dari keluarga
Albalghaits, keluarga Alawiyin maupun masyarakat muslim, disebabkan karena
belum adanya kejelasan status Albalghaits sebagai sayyid, maka dengan tidak
mengurangi rasa hormat kepada keluarga besar Albalghaits disarankan tidak
menggunakan atau memakai symbol kehabaiban seperti pencantuman gelar Habib atau
Sayyid didepan namanya serta Fam Albalghaits yang menyertai dibelakang namanya
yang mengindikasikan kesayyidan selama belum adanya keputusan yang pasti
tentang hal ini selanjutnya tidak adanya kejelasan/keabsahahnnya sebagai
Sayyid, maka tidak diperkenankan menikahi para Syarifah.
e) Dengan
mempertimbangkan kondisi di atas agar problem ini dapat menjadi clear, maka
direkomendasikan kepada Maktab Daimi Rabithah Alawiyah untuk segera bersikap
dan mengambil keputusan dalam bentuk pengeluaran maklumat secara adil dan
bijaksana sehingga hiruk pikuk ini terselesaikan.
Demikian
sekilas analisis ini disampaikan sebagai bahan kajian bagi kita semua, semoga
bermanfaat dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan serta kekeliruan dalam
tulisan ini. Semoga pula kita semua selalu dalam hidayah Allahul Hadi. Harap
maklum dan syukran jazilan.
Balikpapan, 31
Oktober 2014
Wassalam
Ir. Sayyid
Abdusslam Alwi Al Hinduan, MBA
Semoga
uraian jawaban dari pertanyaan: Apakah “Balghaits” yang ada di
Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib? sebagaimana di atas itu bisa
mencukupi. Mudah-mudahan hati kita selalu di bukakan atas jalan kebenaran,
dan dijauhkan dari kebohongan dan kepalsuan. Amiin ya Rabbal ‘alamin.
|
assalamualaikum wrwb,bisa minta tahun2nya antara husien bin alwi hingga yg bersambung kepada (umar bin husien bin muhammad) bin husien bin alwi,,
BalasHapusTawakal
BalasHapusbalghaist dari jaman dulu sampe sekarang gak diakui
BalasHapusibuku dari marga balghaist
BalasHapusPlay Roulette Online For Free At Casino Ncaa
BalasHapusPlay Roulette Online For Free At 바카라사이트 Casino Ncaa. It's very simple. หารายได้เสริม Just pick a 토토 사이트 winning 토토사이트 dealer or a 오래된 토토 사이트 number you've
Tiara titanium belly ring | Titanium Art | Tithalian Art | Tithalian Art
BalasHapusTiara titanium belly ring | titanium piercing jewelry Titanium Art | Tithalian Art | titanium 200 welder Tithalian Art | Tithalian Art | schick quattro titanium Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art titanium carabiners | Tithalian 4x8 sheet metal prices near me Art
x748g1qsxmp275 Male Masturbators,vibrators,dog dildo,wholesale sex toys,sex toys,vibrators,male sex dolls,Bullets And Eggs,dildos t434h3xiupj000
BalasHapus