Minggu, 30 Juli 2017

KONTROVERSI NASAB BALGHAITS DI KALIMANTAN

APAKAH BALGHAITS ITU HABAIB?

(Dirangkum dari tulisan Sayyid Idrus Alwi al Masyhur & Ir. Sayyid Abd. Salam al Hinduan, MBA)

Jika pertanyaan yang diajukan seperti judul di atas, maka dengan tegas kita katakan bahwa Balghaits itu termasuk Habaib, karena nama marga ini diakui keberadaannya di dalam kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan keluarga Alawiyyin. Namun jika pertanyaan-nya seperti ini:

Apakah “Balghaits” yang ada di Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib?

Maka jawabannya bisa menjadi panjang.

Keluarga Balghaits berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad asy Syahid bin al Imam Muhammad al Faqih al Muqaddam. Sayyid Umar Shahib al Hamra ini lahir di Tarim pada tahun 822 H. dan wafat di Taiz pada tahun 889 H. (Syamsu azh Zhohirah ta’liq as Sayyid Muhammad Dhiya’ Shahab: 405).

Di dalam kitab Syajarah Ansab al Alawiyin yang ditulis  mufti Hadhramaut Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur, maupun yang ditulis oleh Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf, dalam rangka sensus nasab Alawiyyin Indonesia dari tahun 1932-1940, yang selesai ditulis tahun 1957, keturunan Balghaits hanya tercantum sampai nama Husin. Jadi data di Hadhramaut dan di Indonesia sama. Yaitu:

Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Umar Shahib al Hamra.

Untuk lebih mudahnya bisa disusun sebagai berikut:

Habib Umar Shahib al Hamra mempunyai keturunan
  1. Muhammad
  2. Umar
  3. Ahmad
  4. Al Ghaits
  5. Ahmad
  6. Alwi
  7. Husin (Hingga sampai nama ini data yang tercantum di dalam kitab nasab)


Sedangkan buku nasab Khidmat al Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsu al Zhohirah karangan Sayyid Ahmad bin Abdullah as Saqqaf yang ditulis pada tahun 1946, menyebutkan bahwa keturunan Sayyid Umar Shahib al Hamra memiliki keturunan yaitu keluarga Balghaits di Lahaj. Pada hal 72 dari kitab yang sama, Sayyid Ahmad bin Abdullah as Seqqaf menyatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya keluarga Balghaits tidak memiliki keturunan lagi atau terputus (munqaridh).

Bila kita melihat buku nasab di atas, munculnya nama-nama tambahan yang menyambung kepada Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, telah menjadi masalah bagi para Habaib di Kalimantan, sehingga mereka menolaknya.

Pro-kontra masalah nasab Balghaits ini bukanlah hal baru bagi Habaib di Kalimantan, namun sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu sebelum tahun 1960-an. Khususnya para Habaib yang tua, yang asli dari Hadhramaut (wulaity), banyak yang menolak nasab Balghaits yang ada di Kalimantan ini. Tentu mereka punya alasan kuat, dan jangan sekali-kali menganggap bahwa mereka buta dari ilmu nasab, atau tidak ada komunikasi dengan para ahli nasab.

Pro-kontra menjadi semakin menghangat ketika buku nasab Balghaits yang dikeluarkan oleh ketua-ketua Maktab Daimi terdahulu, tetapi saat ini dipending sambil menunggu keputusan yang jelas. Kebijakan menunda pengeluaran buku nasab ini membuat pihak keluarga Balghaits semakin ingin membuktikan bahwa keluarga mereka adalah keturunan Balghaits yang sebenarnya. Dan pendukung yang diberikan kepada Maktab Daimi menuliskan kakek-kakek mereka adalah Aboelgais bukan Balghaits.

Banyak nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili bangsa Arab, baik dari kalangan Ahlu bait atau non-Ahlu Bait. Seperti contoh: nama Abulghaits di yaman diintisabkan kepada keturunan dari famili al Qudaim atau al Ahadilah. Di samping itu dalam kitab al Qaul al Munir, nama Abulghaits, khususnya yang berada di negeri Yaman diintisabkan kepada keluarga Bafadhal, bahkan terdapat pula nama tempat dan keluarga non-Alawiyin bernama Alalak bin al Ghaits sebagaimana nama daerah di Banjarmasin- Kalimantan Selatan. Sebaliknya, famili Alawiyyin yang berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra yang tinggal di Lahij menggunakan nama ‘Balghaits’ bukan Abulghaits. Lalu termasuk kelompok yang manakah keluarga yang terdapat di Kalimantan tersebut?

Dalam menentukan keshahihan nasab seorang Sayyid tidaklah mudah. Keputusan shahih atau tidaknya didasarkan minimal dua faktor, yaitu data dan kesaksian. Kedua faktor itu harus saling mendukung. Bila seseorang memiliki data tetapi kesaksian menolak, maka status seseorang belum dikatakan shahih, begitu pula jika seseorang disaksikan bahwa ia adalah seorang sayyid, tetapi data tidak mendukung (hanya tahu tiga urutan ke atas), atau ada tetapi tidak benar urutannya dan salah dalam menentukan data lainnya, seperti saudara ayah, saudara kakek, dan sebagainya. Begitu pula dengan persyaratan pengajuan permohonan nasab yang tidak dipenuhi, di antaranya adalah dua orang saksi yang memang benar-benar mengetahui orang yang disaksikannya.

Data yang telah diterima oleh Maktab Daimi biasanya akan diverifikasi untuk mendapatkan kebenaran urutan nasab seseorang, di antaranya dengan melampirkan surat-surat yang diperlukan seperti kartu keluarga atau identitas lainnya. Sebagai contoh kasus nasab keluarga Balghaits Kalimantan Selatan, karena jarak dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits hingga Q (Qadri bin Ahmad Nur) yang dikenal dengan HO (H. Ondel) terlalu jauh (lebih dari lima generasi), maka perlu adanya pembuktian apakah nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits itu memiliki anak bernama Muhammad, apakah Muhammad mempunyai anak bernama Husin, apakah Husin mempunyai anak bernama Umar, apakah Umar mempunyai anak bernama Abdullah, dan seterusnya.

Setelah dilakukan penelitian ternyata proses pengajuan permohonan tidak memenuhi apa yang dipersyaratkan. Kesaksian yang diharuskan dalam permohonan, diberikan oleh satu orang dari famili al Habsyi dan satu orang dari famili Balghaits sendiri, yaitu Sayyid Abu Bakar bin Salim al Habsyi dan Qadri bin Ahmad Nur. Menjadi tidak masuk akal ketika ada orang yang akan disaksikan sebagai sayyid, tetapi yang bertindak menyaksikan keluarganya adalah dirinya sendiri. Apalagi kesaksian lingkungan Habaib menolak kesahihan nasabnya. Hal ini terjadi pada tahun 1990, sedangkan kesaksian penolakan akan keshahihan nasabnya dari masyarakat terjadi jauh sebelum tahun tersebut.

Ketika ada protes yang mengatakan bahwa famili Balghaits telah diterbitkan bukunya pada tahun 1972 oleh Maktab ad Daimi, hal ini menjadi pertanyaan: mengapa pengurus Maktab ad Daimi selanjutnya (berinisial MAA) membuat surat kepada Sdr. Ahmad al Aydrus (tanggal 28 Juni 1989) untuk mencari tahu tentang penolakan keluarga Balghaits dari lingkungan?

Beliau juga bertanya ke sana-kemari tentang keluarga Balghaits ini kepada orang-orang Kalimantan Selatan. Kalau memang buku nasab Balghaits yang pernah dikeluarkan Maktab Daimi pada tahun 1972 dengan proses yang benar (terpenuhi dua syarat, yaitu urutan data yang shahih dan tidak ada penolakan lingkungan), seharusnya tidak perlu bersusah payah bertanya-tanya untuk mencari tahu, tetapi melanjutkan saja untuk mengeluarkan buku nasabnya! Dalam hal ini, apakah MAA sebagai ketua Maktab Daimi saat itu turun langsung untuk mencari tahu ke Banjarmasin???

Ternyata pada tahun 1986, terdapat pengakuan secara lisan akan ketidaktelitian pengurus Maktab Daimi dalam menetapkan dan menerbitkan nasab Balghaits. Hal itu tercermin ketika seorang Sayyid dari Banjarmasin (saat ini beliau masih hidup) mengatakan kepada pengurus Maktab Daimi bahwa keshahihan nasab Balghaits ditolak oleh para orang tua di Banjarmasin. Dengan rasa menyesal ketua Maktab Daimi (inisial MAA) tersebut berkata: “Ya Habib, nasab Balghaits sudah ditulis di buku nasab, lalu bagaimana cara mengeluarkannya?”. Ternyata penyesalan tidak diikuti dengan penghapusan nama keluarga Balghaits. Pada tahun 2006, atas dasar prinsip kehati-hatian, penerbitan buku nasab Balghaits (oleh Maktab Daimi, Rabithah Alawiyah) selanjutnya diberhentikan sementara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ketua Maktab daimi (seperti MHH, MAA, ZAA) tidak berpegang dan mengadakan penelitian kepada kitab-kitab nasab yang terdahulu, seperti kitab nasab Khidmah al Asyirah (ditulis tahun 1946) yang dengan jelas menyatakan keluarga Balghaits telah terputus keturunannya?

Berbeda dengan Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, dengan prinsip kehati-hatian beliau tidak menuliskan nama-nama keturunan Balghaits seperti ‘HT’ yang lahir tahun 1922 (perbedaan generasi lebih dari 5 kakek), bahkan sebaliknya beliau hanya menuliskan nasab Balghaits hanya sampai Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits saja, padahal beliau melakukan sensus Alawiyin dari tahun 1932 sampai 1940, dan meninggal tahun 1964. Ketika Habib Ali bin Jakfar wafat, umur ‘HT’ adalah 42 tahun. Lalu kenapa keluarga Balghaits Kalimantan ini tidak terdata dalam buku sensus (ihsa) dan tidak tercatat dalam buku nasab induk Maktab Daimi? (Padahal sudah lebih dari lima generasi???).

Hal ini karena Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf berpegang kepada kitab-kitab nasab Alawiyyin sebelumnya, seperti kitab Syajarah Ansab al Alawiyyin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang menuliskan hanya sampai nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, dan kitab Khidmah al asyirah, karangan Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf, yang menyatakan bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya!

Selanjutnya mana yang harus kita pedomani, Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, yang dengan prinsip kehati-hatiannya hanya menuliskan keturunan Balghaits sampai Husin bin Ali bin aAhmad bin al Ghaits saja, tanpa menambah nama keturunan lainnya dan Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf (seorang ahli nasab yang menyatakan dengan jelas bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya dalam kitabnya Khidmatu al Asyirah) atau MHH, MAA, ZAA yang telah menerbitkan buku nasab Balghaits? Silahkan anda putuskan!



Kemudian dalam hal ini, Ir. Sayyid Abdussalam Alwi al Hinduan, MBA juga merincikan beberapa analisis masalah kontroversi nasab keluarga Balghaits dan solusinya:

1) Bahwa para Sayyid, Syarif, dan Habaib di Indonesia umumnya merupakan anak keturunan yang leluhurnya berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan. Untuk menjaga kelangsungan keturunan tersebut, maka dicatatlah asal-muasal keturunan dari Hadhramaut yang masuk ke Indonesia guna diteruskan silsilah mereka. Atas dasar itu, maka Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur mencatat marga, nasab dan silsilah tersebut sebanyak 7 (tujuh) jilid, yang dikenal nama bukunya yaitu Syajaratul Ansab al Alawiyin (disebut Kitab Hadhramaut). Beliau ini dilahirkan di kota Tarim tanggal 29 Sya’ban 1250 H/ 1829 M. Pada zamannya beliau dikenal sebagai tokoh ulama Alawiyin sehingga dijuluki Mufti Hadhramaut. Kitab beliau selain di atas adalah Bughyatu al Mustarsyidin dan Syamsu azh Zhohirah. Beliau wafat 16 shafar tahun 1320 H atau 1899 M, dimakamkan di Zanbal, Tarim.

2) Pada tahun 1340 – 1341 buku tersebut ditashhih oleh anak beliau yang bernama Habib Ali bin Abdurrahman al Masyhur atas tulisan tangan Salman bin Said bin Awadh Baghauts.


3) Sekitar tahun 1346 H ketujuh kitab tersebut dibawa ke Indonesia oleh Habib Alwi bin Thohir al Haddad. Dan bersamaan dengan itu pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H) dibentuk atau didirikan Rabithah Alawiyah di Jakarta, yang mana ketuanya adalah Habib Alwi bin Thohir al Haddad.

4) Untuk kepentingan kelangsungan nasab dan pencatatan keluarga Alawiyin maka dibentuk Maktab Daimi sebagai lembaga otonom di bawah Rabithah Alawiyah pada tanggal 10 maret 1932 (1350 H). Tujuan pendirian Maktab Daimi adalah untuk mencatat sejarah da silsilah Alawiyin yang tersebar di berbagai penjuru di Indonesia, sehingga sejarah dan silsilah Alawiyin tetap lestari dan terjaga.

5) Sebagai tindak lanjut atas poin 4, maka ditunjuk Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf guna mendata ulang para Habaib di Indonesia dengan melanjutkan catatan nasab dari kitab Habib Abdurahman bin Muhammad al Masyhur. Dalam Kitab ini keluarga al Balghaits hanya tercatat yaitu Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Shohib al Hamra bin Abdurahman yang berada di Lahaj, Yaman Utara.

6) Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf melakukan pencacahan dari tahun 1932 – 1940 M. Dari pencacahan ini diperoleh tambahan 7 kitab oleh Habib Ali bin Jakfar dari keluarga Alawiyin yang tersebar di Nusantara. Kitab ini disebut oleh Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf dengan judul Syajaratu Ansab al Alawiyin atau lebih dikenal dengan nama: Syajaratu Nasab Li Sayyid Ali bin Jakfar as Seqqaf. Buku ini tersimpan pada keluarga beliau. Ia wafat tahun 1962, yang kemudian tahun 1985, buku-buku tersebut diserahkan kepada Maktab Daimi Rabithah Alawiyah di Jakarta. Dari keterangan buku Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf ini khusus mengenai keluarga al Balghaits tertulis:

  • Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits (dzurriyatihi al Ghaits bi Lahaj/keturunannya al Ghaits di Lahaj) bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Shohib al Hamra bin Abdurahman bi Lahaj.


7) Bahwa sebagian besar keluarga Alawiyin yang berada di Banjarmasin, Alalak dan sekitarnya hingga tahun 60 an sampai sekarang berpandangan sebagai berikut:

  • Abul Ghaits atau al Balghaits bukanlah sayyid. Terhadap hal ini ada menyatakan mereka sebagai orang Arab (masyayikh) dan adapula yang menganggapnya keturunan Pakistan. Disamping itu ada yang mengemukakan bahwa keluarga keluarga Al Balghaits ini telah punah alias tidak ada lagi keturunannya.
  • Diceritakan oleh Habib Zainal Husin bin Shaleh al Aydrus (asal Banjarmasin yang saat ini berada di Balikpapan)) kepada penulis pada tanggal 2 Oktober 2014 yang diterimanya dari Habib Hasan Bahasyim bahwa disaat Haji Ondel (Qadri bin Ahmad Nur) yang mengaku sayyid bermarga al Balghaits, ingin melamar putrinya Habib Zein al Habsyie Martapura, maka ditolak oleh Habib Zein al Habsyie karena dianggap bukan sayyid.


8) Berdasarkan buku yang ditulis oleh keluarga al Balghaits tanggal 05 Maret 2013 berjudul: “Meluruskan Tulisan Idrus Mengenai Keluarga Balghaits Yang Dianggap Terputus” sebagai tanggapan atas buku yang ditulis Idrus bin Alwi al Masyhur, yaitu: Membongkar Kebohongan Sejarah & Silsilah Keturunan Nabi SAW di Indonesia, pada halaman 41 menyebutkan adanya silsilah keluarga al Balghaits di Indonesia berdasarkan naskah yang ditulis oleh Habib Qasim bin Zubair bin Qasim Baraqbah tahun 1321 H tercantum nasab umar bin Husin di sampit tersambung kepada keluarga Balghaits, yaitu:
  • Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad Balghaits.
  • Terhadap hal ini perlu diteliti dan dipertanyakan, mengapa?

a. Sangatlah aneh karena daftar nama keluarga Habaib di Indonesia baru diketahui melalui kitab Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang dibawa oleh Habib Alwi bin Thohir al Haddad tahun 1346 H yang kemudian menjadi bahan rujukan habib Ali bin Jakfar as Seqqaf dalam mencacah keluarga Habaib di indonesia tahun 1932 – 1940 (lebih lanjut teliti keterangan poin 1 – 6 di atas dari tulisan ini).

b. Dari hasil konfirmasi penulis (Abdussalam Alwi Alhinduan) kepada Habib Ali Ridho Baraqbah di Surabaya tanggal 23 Oktober 2014 tentang naskah Habib Qasim bin Zubair bin Qasim Baraqbah yang dimilikinya, ia menyatakan bahwa Habib Qasim bin Zubair bin Qasim Baraqbah hanya mencatat keluarga Baraqbah saja dan tidak ditemukan suatu tulisan dari Habib Qasim bin Zubair tersebut tentang keluarga al Balghaits sebagaimana yang disebutkan naskah di atas. Untuk diketahui bahwa Habib Ali Ridho Baraqbah adalah salah seorang pencatat nasab keluarga Baraqbah terutama yang tersebar di Jawa dan sekitarnya. Tulisannya tentang nasab keluarga Baraqbah adalah al Hasiibah fii Ansab Aal Baraqbah.



9) Permasalahan menjadi ramai dengan terbitnya buku nasab dari keluarga Albalghaits yang dikeluarkan oleh Maktab Daimi tahun 1972 dan buku nasab dari Pekalongan tahun 1975. Buku nasab tersebut antara lain yaitu:

a. Diterbitkan Maktab Daimi tahun 1972 oleh Habib Hasyim bin Muhammad Alhabsyi sebagai berikut:
  • Hasan bin Thoha bin Husin bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
  • Ahmad Nur bin Usman bin Abdullah bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.

b. Yang dikeluarkan Pekalongan tahun 1975 oleh Habib Ahmad bin Ali bin Syahab yaitu:
  • Jafar bin Agil bin Abdullah bin Umar bin husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.
  • Mahmud bin Jafar bin Abubakar bin Abdullah bin Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya.


10)  Mengingat terjadinya gonjang ganjing tentang status dan validitas (keabsahan) terhadap keluarga Al Balghaits ini, maka sejak tahun 2000, nasab keluarga ini dipending oleh Maktab daimi disebabkan antara lain:

1)   Dalam kitab asli Manuskrip tulisan Habib Abdurahman bin Muhammad Al masyhur yang ada di Maktab Daimi Jakarta (kitab Syajaratul Ansab/ kitab Hadhramaut) terdapat penambahan keturunan dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits sehingga menjadi Umar bin Husin bin Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits. Tulisan ini tidak diketahui siapa yang menambahkannya sehingga atas dasar itu muncullah nasab: Hasan bin Thoha bin Umar dan seterusnya, serta Ahmad nur bin Usman bin Abdullah bin Umar dan seterusnya (lihat point 9. a).

2)   Disisi lain bahwa didalam kitab asli Habib Ali bin Jafar Assegaf (Syajaratu Ansab Alawiyin) hanya tertulis: Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits dan tidak ada sambungan bahwa Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits mempunyai anak yang bernama Muhammad, Muhammad mempunyai anak Husin dan Husin mempunyai anak Umar, dimana Umar ini dianggap oleh keluarga Al Balghaits sebagai peletak dasar adanya keturunan Al Balghaits di Indonesia, datang dari Yaman Utara masuk ke Sampit beranak pinak hingga Umar bin Husin bin Muhammad ini wafat di Desa Baamang Sampit.

3) Di dalam kitab Khidmatul Asyirah karangan Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dinyatakan bahwa keluarga Alghaits di Indonesia telah punah sehingga dari 164 marga Alawiyin di Indonesia tidak terdaftar keluarga atau fam Al Balghaits ini.


4)  Pada kitab Habib Abdurahman bin Muhammad Al Masyhur di Hadramaut yang asli dimana saat ini kitab tersebut dipegang oleh Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Hafiz tercatat bahwa keluarga Al Balghaits di Hadramaut hanya tertulis: Husin bin alwi bin Ahmad bin Alghaits dan seterusnya sehingga tidak ada penambahan bahwa Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits mempunyai keturunan bernama Muhammad.

11)  Terkait dengan buku nasab yang pernah diterbitkan oleh Maktab Daimi, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:


  • Tidak otomatis orang yang mempunyai buku nasab shahih keberadaannya.
  • Mungkin saja terjadi kesalahan disebabkan ketidaktelitian pada saat pembuatan buku tersebut seperti tidak adanya kroscek tentang keabsahannya, kabar mutawatir yang menyertai pemprosesannya, atau mungkin adanya kepentingan lain.
  • Bilamana ditemukan adanya keraguan dari sebagian Habaib atau sebagian masyarakat muslim tentang buku nasab seseorang, maka sah-sah saja dilakukan pengkajian ulang atau penelusuran lebih lanjut terhadap buku yang pernah diterbitkan tersebut.
  • Sebagai gambaran, Maktab Daimi pernah menerbitkan buku nasab atas nama Muhammad Fuad bin Abdullah Baraqbah (Sekretaris Rabithah Alawiyah Jambi) tahun 2002 dan karena adanya gonjang ganjing atas nama yang bersangkutan, maka dilakukan kaji ulang atau penelusuran secara seksama dan hasilnya : Maktab Daimi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 003/SK/MD – RA/VIII/2009 tentang Penarikan/Pencabutan Buku Nasab Nomor 7636 Atas Nama Muhammad Fuad bin Abdullah, tanggal 15 Agustus 2009 dan dinyatakan tidak berlaku. Dari hal ini jelas bahwa tidak seratus persen buku nasab menjadi dasar keabsahan silsilah seseorang dari keluarga Alawiyin.

12)  Untuk menjadi bahan pertimbangan dan kajian lebih lanjut perlu disimak “tulisan : DR. H. A. Madjid Hasan Bahafdullah, MM yang berjudul Dari Nabi Nuh As Sampai Orang Hadhramaut Di Indonesia, Menelusuri Asal Usul Hadharim” dimana pada halamam 257 disebutkan bahwa Keluarga Arab atau masyaikh melalui Bani As – Saibani menurunkan keturunan dari Al Bahsan (Al bahsani) bermukim di Wadi Jirbah dab pegunungan disekitarnya menurunkan nasab sebanyak 19 Suku/Marga, dimana salah satunya adalah “Al Balgheisy”. Disamping itu Idrus Alwi Almasyhur dalam bukunya “Membongkar Kebohongan Sejarah & Silsilah Keturunan Nabi Saw Di Indonesia” , pada halaman 86 menyebutkan: banyak nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili-famili bangsa Arab, baik dari kalangan Ahlu Bait atau non Ahlu Bait. Seperti contoh : nama Abulghaits di yaman diintisabkan kepada keturunan dari famili Al – Qudaim atau Aal Ahadilah atau keluarga Bafadhal yang banyak terdapat di Lahaj.



13)  Dari uraian, data analisa di atas terkait dengan permasalahan keluarga Albalghaits ini dengan tidak berlebihan dapat diambil kesimpulan (sementara) antara lain sebagai berikut :

a) Masih terdapat perbedaan pandangan tentang keabsahan apakah keluarga Albalghaits ini merupakan sayyid atau bukan alias golongan masyaikh (Arab).

b)  Pengambilan atau pencantelan nama Muhammad bin Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits masih menjadi perdebatan di kalangan keluarga Alawiyin.

c)   Perlu ditelusuri tentang keberadaan : Umar, Husin, Muhammad yang menyambung kepada Husin bin Alwi bin Ahmad bin Alghaits, kapan lahirnya, kapan hijrahnya, kapan wafatnya, dimana dimakamkan, apa tulisan yang tertera di batu nisan yang bersangkutan baru atau lama, siapa saja saudara – saudara mereka dan dimana penyebarannya.

d) Agar tidak menimbulkan fitnah yang berkesinambungan atau konflik baik dari keluarga Albalghaits, keluarga Alawiyin maupun masyarakat muslim, disebabkan karena belum adanya kejelasan status Albalghaits sebagai sayyid, maka dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada keluarga besar Albalghaits disarankan tidak menggunakan atau memakai symbol kehabaiban seperti pencantuman gelar Habib atau Sayyid didepan namanya serta Fam Albalghaits yang menyertai dibelakang namanya yang mengindikasikan kesayyidan selama belum adanya keputusan yang pasti tentang hal ini selanjutnya tidak adanya kejelasan/keabsahahnnya sebagai Sayyid, maka tidak diperkenankan menikahi para Syarifah.

e) Dengan mempertimbangkan kondisi di atas agar problem ini dapat menjadi clear, maka direkomendasikan kepada Maktab Daimi Rabithah Alawiyah untuk segera bersikap dan mengambil keputusan dalam bentuk pengeluaran maklumat secara adil dan bijaksana sehingga hiruk pikuk ini terselesaikan.

Demikian sekilas analisis ini disampaikan sebagai bahan kajian bagi kita semua, semoga bermanfaat dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan serta kekeliruan dalam tulisan ini. Semoga pula kita semua selalu dalam hidayah Allahul Hadi. Harap maklum dan syukran jazilan.


Balikpapan, 31 Oktober 2014
Wassalam


Ir. Sayyid Abdusslam Alwi Al Hinduan, MBA



Semoga uraian jawaban dari pertanyaan: Apakah “Balghaits” yang ada di Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib? sebagaimana di atas itu bisa mencukupi. Mudah-mudahan hati kita selalu di bukakan atas jalan kebenaran, dan dijauhkan dari kebohongan dan kepalsuan. Amiin ya Rabbal ‘alamin.


7 komentar:

  1. assalamualaikum wrwb,bisa minta tahun2nya antara husien bin alwi hingga yg bersambung kepada (umar bin husien bin muhammad) bin husien bin alwi,,

    BalasHapus
  2. balghaist dari jaman dulu sampe sekarang gak diakui

    BalasHapus
  3. Play Roulette Online For Free At Casino Ncaa
    Play Roulette Online For Free At 바카라사이트 Casino Ncaa. It's very simple. หารายได้เสริม Just pick a 토토 사이트 winning 토토사이트 dealer or a 오래된 토토 사이트 number you've

    BalasHapus
  4. Tiara titanium belly ring | Titanium Art | Tithalian Art | Tithalian Art
    Tiara titanium belly ring | titanium piercing jewelry Titanium Art | Tithalian Art | titanium 200 welder Tithalian Art | Tithalian Art | schick quattro titanium Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art | Tithalian Art titanium carabiners | Tithalian 4x8 sheet metal prices near me Art

    BalasHapus