Minggu, 30 Juli 2017

KONTROVERSI NASAB BALGHAITS DI KALIMANTAN

APAKAH BALGHAITS ITU HABAIB?

(Dirangkum dari tulisan Sayyid Idrus Alwi al Masyhur & Ir. Sayyid Abd. Salam al Hinduan, MBA)

Jika pertanyaan yang diajukan seperti judul di atas, maka dengan tegas kita katakan bahwa Balghaits itu termasuk Habaib, karena nama marga ini diakui keberadaannya di dalam kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan keluarga Alawiyyin. Namun jika pertanyaan-nya seperti ini:

Apakah “Balghaits” yang ada di Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib?

Maka jawabannya bisa menjadi panjang.

Keluarga Balghaits berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad asy Syahid bin al Imam Muhammad al Faqih al Muqaddam. Sayyid Umar Shahib al Hamra ini lahir di Tarim pada tahun 822 H. dan wafat di Taiz pada tahun 889 H. (Syamsu azh Zhohirah ta’liq as Sayyid Muhammad Dhiya’ Shahab: 405).

Di dalam kitab Syajarah Ansab al Alawiyin yang ditulis  mufti Hadhramaut Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur, maupun yang ditulis oleh Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf, dalam rangka sensus nasab Alawiyyin Indonesia dari tahun 1932-1940, yang selesai ditulis tahun 1957, keturunan Balghaits hanya tercantum sampai nama Husin. Jadi data di Hadhramaut dan di Indonesia sama. Yaitu:

Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Umar Shahib al Hamra.

Untuk lebih mudahnya bisa disusun sebagai berikut:

Habib Umar Shahib al Hamra mempunyai keturunan
  1. Muhammad
  2. Umar
  3. Ahmad
  4. Al Ghaits
  5. Ahmad
  6. Alwi
  7. Husin (Hingga sampai nama ini data yang tercantum di dalam kitab nasab)


Sedangkan buku nasab Khidmat al Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsu al Zhohirah karangan Sayyid Ahmad bin Abdullah as Saqqaf yang ditulis pada tahun 1946, menyebutkan bahwa keturunan Sayyid Umar Shahib al Hamra memiliki keturunan yaitu keluarga Balghaits di Lahaj. Pada hal 72 dari kitab yang sama, Sayyid Ahmad bin Abdullah as Seqqaf menyatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya keluarga Balghaits tidak memiliki keturunan lagi atau terputus (munqaridh).

Bila kita melihat buku nasab di atas, munculnya nama-nama tambahan yang menyambung kepada Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, telah menjadi masalah bagi para Habaib di Kalimantan, sehingga mereka menolaknya.

Pro-kontra masalah nasab Balghaits ini bukanlah hal baru bagi Habaib di Kalimantan, namun sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu sebelum tahun 1960-an. Khususnya para Habaib yang tua, yang asli dari Hadhramaut (wulaity), banyak yang menolak nasab Balghaits yang ada di Kalimantan ini. Tentu mereka punya alasan kuat, dan jangan sekali-kali menganggap bahwa mereka buta dari ilmu nasab, atau tidak ada komunikasi dengan para ahli nasab.

Pro-kontra menjadi semakin menghangat ketika buku nasab Balghaits yang dikeluarkan oleh ketua-ketua Maktab Daimi terdahulu, tetapi saat ini dipending sambil menunggu keputusan yang jelas. Kebijakan menunda pengeluaran buku nasab ini membuat pihak keluarga Balghaits semakin ingin membuktikan bahwa keluarga mereka adalah keturunan Balghaits yang sebenarnya. Dan pendukung yang diberikan kepada Maktab Daimi menuliskan kakek-kakek mereka adalah Aboelgais bukan Balghaits.

Banyak nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili bangsa Arab, baik dari kalangan Ahlu bait atau non-Ahlu Bait. Seperti contoh: nama Abulghaits di yaman diintisabkan kepada keturunan dari famili al Qudaim atau al Ahadilah. Di samping itu dalam kitab al Qaul al Munir, nama Abulghaits, khususnya yang berada di negeri Yaman diintisabkan kepada keluarga Bafadhal, bahkan terdapat pula nama tempat dan keluarga non-Alawiyin bernama Alalak bin al Ghaits sebagaimana nama daerah di Banjarmasin- Kalimantan Selatan. Sebaliknya, famili Alawiyyin yang berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra yang tinggal di Lahij menggunakan nama ‘Balghaits’ bukan Abulghaits. Lalu termasuk kelompok yang manakah keluarga yang terdapat di Kalimantan tersebut?

Dalam menentukan keshahihan nasab seorang Sayyid tidaklah mudah. Keputusan shahih atau tidaknya didasarkan minimal dua faktor, yaitu data dan kesaksian. Kedua faktor itu harus saling mendukung. Bila seseorang memiliki data tetapi kesaksian menolak, maka status seseorang belum dikatakan shahih, begitu pula jika seseorang disaksikan bahwa ia adalah seorang sayyid, tetapi data tidak mendukung (hanya tahu tiga urutan ke atas), atau ada tetapi tidak benar urutannya dan salah dalam menentukan data lainnya, seperti saudara ayah, saudara kakek, dan sebagainya. Begitu pula dengan persyaratan pengajuan permohonan nasab yang tidak dipenuhi, di antaranya adalah dua orang saksi yang memang benar-benar mengetahui orang yang disaksikannya.

Data yang telah diterima oleh Maktab Daimi biasanya akan diverifikasi untuk mendapatkan kebenaran urutan nasab seseorang, di antaranya dengan melampirkan surat-surat yang diperlukan seperti kartu keluarga atau identitas lainnya. Sebagai contoh kasus nasab keluarga Balghaits Kalimantan Selatan, karena jarak dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits hingga Q (Qadri bin Ahmad Nur) yang dikenal dengan HO (H. Ondel) terlalu jauh (lebih dari lima generasi), maka perlu adanya pembuktian apakah nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits itu memiliki anak bernama Muhammad, apakah Muhammad mempunyai anak bernama Husin, apakah Husin mempunyai anak bernama Umar, apakah Umar mempunyai anak bernama Abdullah, dan seterusnya.

Setelah dilakukan penelitian ternyata proses pengajuan permohonan tidak memenuhi apa yang dipersyaratkan. Kesaksian yang diharuskan dalam permohonan, diberikan oleh satu orang dari famili al Habsyi dan satu orang dari famili Balghaits sendiri, yaitu Sayyid Abu Bakar bin Salim al Habsyi dan Qadri bin Ahmad Nur. Menjadi tidak masuk akal ketika ada orang yang akan disaksikan sebagai sayyid, tetapi yang bertindak menyaksikan keluarganya adalah dirinya sendiri. Apalagi kesaksian lingkungan Habaib menolak kesahihan nasabnya. Hal ini terjadi pada tahun 1990, sedangkan kesaksian penolakan akan keshahihan nasabnya dari masyarakat terjadi jauh sebelum tahun tersebut.

Ketika ada protes yang mengatakan bahwa famili Balghaits telah diterbitkan bukunya pada tahun 1972 oleh Maktab ad Daimi, hal ini menjadi pertanyaan: mengapa pengurus Maktab ad Daimi selanjutnya (berinisial MAA) membuat surat kepada Sdr. Ahmad al Aydrus (tanggal 28 Juni 1989) untuk mencari tahu tentang penolakan keluarga Balghaits dari lingkungan?

Beliau juga bertanya ke sana-kemari tentang keluarga Balghaits ini kepada orang-orang Kalimantan Selatan. Kalau memang buku nasab Balghaits yang pernah dikeluarkan Maktab Daimi pada tahun 1972 dengan proses yang benar (terpenuhi dua syarat, yaitu urutan data yang shahih dan tidak ada penolakan lingkungan), seharusnya tidak perlu bersusah payah bertanya-tanya untuk mencari tahu, tetapi melanjutkan saja untuk mengeluarkan buku nasabnya! Dalam hal ini, apakah MAA sebagai ketua Maktab Daimi saat itu turun langsung untuk mencari tahu ke Banjarmasin???

Ternyata pada tahun 1986, terdapat pengakuan secara lisan akan ketidaktelitian pengurus Maktab Daimi dalam menetapkan dan menerbitkan nasab Balghaits. Hal itu tercermin ketika seorang Sayyid dari Banjarmasin (saat ini beliau masih hidup) mengatakan kepada pengurus Maktab Daimi bahwa keshahihan nasab Balghaits ditolak oleh para orang tua di Banjarmasin. Dengan rasa menyesal ketua Maktab Daimi (inisial MAA) tersebut berkata: “Ya Habib, nasab Balghaits sudah ditulis di buku nasab, lalu bagaimana cara mengeluarkannya?”. Ternyata penyesalan tidak diikuti dengan penghapusan nama keluarga Balghaits. Pada tahun 2006, atas dasar prinsip kehati-hatian, penerbitan buku nasab Balghaits (oleh Maktab Daimi, Rabithah Alawiyah) selanjutnya diberhentikan sementara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ketua Maktab daimi (seperti MHH, MAA, ZAA) tidak berpegang dan mengadakan penelitian kepada kitab-kitab nasab yang terdahulu, seperti kitab nasab Khidmah al Asyirah (ditulis tahun 1946) yang dengan jelas menyatakan keluarga Balghaits telah terputus keturunannya?

Berbeda dengan Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, dengan prinsip kehati-hatian beliau tidak menuliskan nama-nama keturunan Balghaits seperti ‘HT’ yang lahir tahun 1922 (perbedaan generasi lebih dari 5 kakek), bahkan sebaliknya beliau hanya menuliskan nasab Balghaits hanya sampai Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits saja, padahal beliau melakukan sensus Alawiyin dari tahun 1932 sampai 1940, dan meninggal tahun 1964. Ketika Habib Ali bin Jakfar wafat, umur ‘HT’ adalah 42 tahun. Lalu kenapa keluarga Balghaits Kalimantan ini tidak terdata dalam buku sensus (ihsa) dan tidak tercatat dalam buku nasab induk Maktab Daimi? (Padahal sudah lebih dari lima generasi???).

Hal ini karena Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf berpegang kepada kitab-kitab nasab Alawiyyin sebelumnya, seperti kitab Syajarah Ansab al Alawiyyin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang menuliskan hanya sampai nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, dan kitab Khidmah al asyirah, karangan Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf, yang menyatakan bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya!

Selanjutnya mana yang harus kita pedomani, Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, yang dengan prinsip kehati-hatiannya hanya menuliskan keturunan Balghaits sampai Husin bin Ali bin aAhmad bin al Ghaits saja, tanpa menambah nama keturunan lainnya dan Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf (seorang ahli nasab yang menyatakan dengan jelas bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya dalam kitabnya Khidmatu al Asyirah) atau MHH, MAA, ZAA yang telah menerbitkan buku nasab Balghaits? Silahkan anda putuskan!