APAKAH BALGHAITS ITU HABAIB?
(Dirangkum
dari tulisan Sayyid Idrus Alwi al Masyhur & Ir. Sayyid Abd. Salam al
Hinduan, MBA)
Jika
pertanyaan yang diajukan seperti judul di atas, maka dengan tegas kita katakan
bahwa Balghaits itu termasuk Habaib, karena nama marga ini diakui keberadaannya
di dalam kitab-kitab nasab yang menjadi rujukan keluarga Alawiyyin. Namun jika
pertanyaan-nya seperti ini:
Apakah
“Balghaits” yang ada di Kalimantan sekarang itu termasuk Habaib?
Maka jawabannya bisa menjadi panjang.
Keluarga
Balghaits berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad asy Syahid bin al Imam Muhammad al
Faqih al Muqaddam. Sayyid Umar Shahib al Hamra ini lahir di Tarim pada tahun
822 H. dan wafat di Taiz pada tahun 889 H. (Syamsu azh Zhohirah ta’liq as
Sayyid Muhammad Dhiya’ Shahab: 405).
Di dalam
kitab Syajarah Ansab al Alawiyin yang ditulis mufti Hadhramaut Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad al Masyhur, maupun yang ditulis oleh Habib Ali bin Jakfar as Seqqaf,
dalam rangka sensus nasab Alawiyyin Indonesia dari tahun 1932-1940, yang
selesai ditulis tahun 1957, keturunan Balghaits hanya tercantum sampai nama
Husin. Jadi data di Hadhramaut dan di Indonesia sama. Yaitu:
Husin
bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits bin Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Umar
Shahib al Hamra.
Untuk
lebih mudahnya bisa disusun sebagai berikut:
Habib
Umar Shahib al Hamra mempunyai
keturunan
- Muhammad
- Umar
- Ahmad
- Al Ghaits
- Ahmad
- Alwi
- Husin (Hingga sampai nama ini data yang tercantum di dalam kitab nasab)
Sedangkan
buku nasab Khidmat al Asyirah bi Tartib wa Talkhis wa Tadzyil Syamsu al
Zhohirah karangan Sayyid Ahmad bin Abdullah as Saqqaf yang ditulis pada tahun 1946,
menyebutkan bahwa keturunan Sayyid Umar Shahib al Hamra memiliki keturunan
yaitu keluarga Balghaits di Lahaj. Pada hal 72 dari kitab yang sama, Sayyid Ahmad
bin Abdullah as Seqqaf menyatakan bahwa pada perkembangan selanjutnya keluarga
Balghaits tidak memiliki keturunan lagi atau terputus (munqaridh).
Bila
kita melihat buku nasab di atas, munculnya nama-nama tambahan yang menyambung
kepada Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, telah menjadi masalah bagi para
Habaib di Kalimantan, sehingga mereka menolaknya.
Pro-kontra
masalah nasab Balghaits ini bukanlah hal baru bagi Habaib di Kalimantan, namun
sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu sebelum tahun 1960-an. Khususnya
para Habaib yang tua, yang asli dari Hadhramaut (wulaity), banyak yang menolak
nasab Balghaits yang ada di Kalimantan ini. Tentu mereka punya alasan kuat, dan
jangan sekali-kali menganggap bahwa mereka buta dari ilmu nasab, atau tidak ada
komunikasi dengan para ahli nasab.
Pro-kontra
menjadi semakin menghangat ketika buku nasab Balghaits yang dikeluarkan oleh
ketua-ketua Maktab Daimi terdahulu, tetapi saat ini dipending sambil menunggu
keputusan yang jelas. Kebijakan menunda pengeluaran buku nasab ini membuat
pihak keluarga Balghaits semakin ingin membuktikan bahwa keluarga mereka adalah
keturunan Balghaits yang sebenarnya. Dan pendukung yang diberikan kepada Maktab
Daimi menuliskan kakek-kakek mereka adalah Aboelgais bukan Balghaits.
Banyak
nama Abulghaits yang diintisabkan kepada famili bangsa Arab, baik dari kalangan
Ahlu bait atau non-Ahlu Bait. Seperti contoh: nama Abulghaits di yaman
diintisabkan kepada keturunan dari famili al Qudaim atau al Ahadilah. Di
samping itu dalam kitab al Qaul al Munir, nama Abulghaits, khususnya
yang berada di negeri Yaman diintisabkan kepada keluarga Bafadhal, bahkan
terdapat pula nama tempat dan keluarga non-Alawiyin bernama Alalak bin al
Ghaits sebagaimana nama daerah di Banjarmasin- Kalimantan Selatan. Sebaliknya,
famili Alawiyyin yang berasal dari Sayyid Umar Shahib al Hamra yang tinggal di
Lahij menggunakan nama ‘Balghaits’ bukan Abulghaits. Lalu termasuk kelompok
yang manakah keluarga yang terdapat di Kalimantan tersebut?
Dalam
menentukan keshahihan nasab seorang Sayyid tidaklah mudah. Keputusan shahih
atau tidaknya didasarkan minimal dua faktor, yaitu data dan kesaksian.
Kedua faktor itu harus saling mendukung. Bila seseorang memiliki data tetapi
kesaksian menolak, maka status seseorang belum dikatakan shahih, begitu pula
jika seseorang disaksikan bahwa ia adalah seorang sayyid, tetapi data tidak
mendukung (hanya tahu tiga urutan ke atas), atau ada tetapi tidak benar
urutannya dan salah dalam menentukan data lainnya, seperti saudara ayah,
saudara kakek, dan sebagainya. Begitu pula dengan persyaratan pengajuan
permohonan nasab yang tidak dipenuhi, di antaranya adalah dua orang saksi yang
memang benar-benar mengetahui orang yang disaksikannya.
Data
yang telah diterima oleh Maktab Daimi biasanya akan diverifikasi untuk
mendapatkan kebenaran urutan nasab seseorang, di antaranya dengan melampirkan
surat-surat yang diperlukan seperti kartu keluarga atau identitas lainnya.
Sebagai contoh kasus nasab keluarga Balghaits Kalimantan Selatan, karena jarak
dari Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits hingga Q (Qadri bin Ahmad Nur) yang
dikenal dengan HO (H. Ondel) terlalu jauh (lebih dari lima generasi), maka
perlu adanya pembuktian apakah nama Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits itu
memiliki anak bernama Muhammad, apakah Muhammad mempunyai anak bernama Husin,
apakah Husin mempunyai anak bernama Umar, apakah Umar mempunyai anak bernama
Abdullah, dan seterusnya.
Setelah
dilakukan penelitian ternyata proses pengajuan permohonan tidak memenuhi apa
yang dipersyaratkan. Kesaksian yang diharuskan dalam permohonan, diberikan oleh
satu orang dari famili al Habsyi dan satu orang dari famili Balghaits sendiri,
yaitu Sayyid Abu Bakar bin Salim al Habsyi dan Qadri bin Ahmad Nur. Menjadi
tidak masuk akal ketika ada orang yang akan disaksikan sebagai sayyid, tetapi
yang bertindak menyaksikan keluarganya adalah dirinya sendiri. Apalagi
kesaksian lingkungan Habaib menolak kesahihan nasabnya. Hal ini terjadi pada
tahun 1990, sedangkan kesaksian penolakan akan keshahihan nasabnya dari
masyarakat terjadi jauh sebelum tahun tersebut.
Ketika
ada protes yang mengatakan bahwa famili Balghaits telah diterbitkan bukunya
pada tahun 1972 oleh Maktab ad Daimi, hal ini menjadi pertanyaan: mengapa
pengurus Maktab ad Daimi selanjutnya (berinisial MAA) membuat surat kepada Sdr.
Ahmad al Aydrus (tanggal 28 Juni 1989) untuk mencari tahu tentang penolakan
keluarga Balghaits dari lingkungan?
Beliau
juga bertanya ke sana-kemari tentang keluarga Balghaits ini kepada orang-orang
Kalimantan Selatan. Kalau memang buku nasab Balghaits yang pernah dikeluarkan
Maktab Daimi pada tahun 1972 dengan proses yang benar (terpenuhi dua syarat,
yaitu urutan data yang shahih dan tidak ada penolakan lingkungan), seharusnya
tidak perlu bersusah payah bertanya-tanya untuk mencari tahu, tetapi
melanjutkan saja untuk mengeluarkan buku nasabnya! Dalam hal ini, apakah MAA
sebagai ketua Maktab Daimi saat itu turun langsung untuk mencari tahu ke
Banjarmasin???
Ternyata
pada tahun 1986, terdapat pengakuan secara lisan akan ketidaktelitian pengurus
Maktab Daimi dalam menetapkan dan menerbitkan nasab Balghaits. Hal itu
tercermin ketika seorang Sayyid dari Banjarmasin (saat ini beliau masih hidup)
mengatakan kepada pengurus Maktab Daimi bahwa keshahihan nasab Balghaits
ditolak oleh para orang tua di Banjarmasin. Dengan rasa menyesal ketua Maktab
Daimi (inisial MAA) tersebut berkata: “Ya Habib, nasab Balghaits sudah ditulis
di buku nasab, lalu bagaimana cara mengeluarkannya?”. Ternyata penyesalan tidak
diikuti dengan penghapusan nama keluarga Balghaits. Pada tahun 2006, atas
dasar prinsip kehati-hatian, penerbitan buku nasab Balghaits (oleh Maktab
Daimi, Rabithah Alawiyah) selanjutnya diberhentikan sementara.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah ketua Maktab daimi (seperti MHH, MAA, ZAA) tidak berpegang
dan mengadakan penelitian kepada kitab-kitab nasab yang terdahulu, seperti
kitab nasab Khidmah al Asyirah (ditulis tahun 1946) yang dengan jelas
menyatakan keluarga Balghaits telah terputus keturunannya?
Berbeda
dengan Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, dengan prinsip kehati-hatian beliau
tidak menuliskan nama-nama keturunan Balghaits seperti ‘HT’ yang lahir tahun
1922 (perbedaan generasi lebih dari 5 kakek), bahkan sebaliknya beliau hanya
menuliskan nasab Balghaits hanya sampai Husin bin Alwi bin Ahmad bin al Ghaits
saja, padahal beliau melakukan sensus Alawiyin dari tahun 1932 sampai 1940, dan
meninggal tahun 1964. Ketika Habib Ali bin Jakfar wafat, umur ‘HT’ adalah 42
tahun. Lalu kenapa keluarga Balghaits Kalimantan ini tidak terdata dalam buku
sensus (ihsa) dan tidak tercatat dalam buku nasab induk Maktab Daimi? (Padahal
sudah lebih dari lima generasi???).
Hal
ini karena Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf berpegang kepada kitab-kitab nasab
Alawiyyin sebelumnya, seperti kitab Syajarah Ansab al Alawiyyin karangan Sayyid
Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur yang menuliskan hanya sampai nama Husin bin
Alwi bin Ahmad bin al Ghaits, dan kitab Khidmah al asyirah, karangan Habib Ahmad
bin Abdullah as Saqqaf, yang menyatakan bahwa keluarga Balghaits telah terputus
keturunannya!
Selanjutnya
mana yang harus kita pedomani, Habib Ali bin Jakfar as Saqqaf, yang dengan
prinsip kehati-hatiannya hanya menuliskan keturunan Balghaits sampai Husin bin
Ali bin aAhmad bin al Ghaits saja, tanpa menambah nama keturunan lainnya dan
Habib Ahmad bin Abdullah as Saqqaf (seorang ahli nasab yang menyatakan dengan
jelas bahwa keluarga Balghaits telah terputus keturunannya dalam kitabnya
Khidmatu al Asyirah) atau MHH, MAA, ZAA yang telah menerbitkan buku nasab
Balghaits? Silahkan anda putuskan!